TATTWA
SEJARAH DAN
KEUNIKAN PURA GUNUNG BALEKU
OLEH :
IDA AYU
YOGISWARI 15111148
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
JURUSAN DHARMA ACARYA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
GEDE PUDJA MATARAM
2016
A.
SEJARAH PURA GUNUNG BALEKU
Pura merupakan tempat ibadah umat hindu, salah satunya adalah pura
Gunung Baleku. Pura Gunung Baleku terletak di Lendang Bajur desa Gunung sari
kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat. Keberadaan pura Gunung Balekuwu atau
Baleku sangat erat kaitannya dengan Panca Tirtha yang berada di Suranadi, hal
ini di karenakan Bhatara Sakti Wawu Rawuh atau Dang Hyang dwijendra (Dang Hyang
Nirartha) yang melakukan perjalanan suci ke pulau Lombok. Dang Hyang Nirartha
adalah seorang brahmana budha yang berasal dari Kerajaan Daha di pulau Jawa,
pada saat beliau pertama kali mengunjungi pulau diluar Jawa yakni pulau Bali,
saat itu beliau masih menganut ajaran Budha dengan nama beliau Dang Hyang
Nirartha, kemudian setelah beliau berada di Bali tepatnya setelah mengabdi di
kerajaan Gel-Gel beliau mulai menjalankan ajaran Siwa, yang kemudian beliau
disebut dengan nama Bhatara Sakti Wawu Rawuh atau lebih terkenal dengan sebutan
Dang Hyang Dwijendra. Kata Dwijendra berarti beliau yang melaksanakan dua
ajaran yakni ajaran Siwa dan Budha.
Setelah selesai menciptakan panca tirtha yang ada di suranadi, kemudian
beliau melanjutkan menyusuri Lombok
menuju ke arah utara hingga ke Gunung Rinjani, setelah itu beliau
menuruni puncak Rinjani melalui pinggir
pantai dan sampai di Lombok utara, beliau singgah di desa Tembango. Sejarah
Baleku berkaitan erat dengan Pura Batu Bais atau sering disebut Pura Batu Bagik
oleh suku asli Lombok. Di pura Batu Bais ini terdapat bekas telapak kaki Dang
Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) pada kedalaman 1 cm.
Umat di desa Tembango memohon kepada Dang Hyang Dwijendra agar
mengajarkan agama budha, bekas telapak kaki beliau yang terdapat di pura Batu
Bais inilah yang disungsung oleh agama budha Terayana di desa Tembango, itulah sebabnya batu bekas
telapak kaki beliau dinamai Batu Bagik Bais yang artinya telapak kaki beliau.
Setelah beliau selesai memberikan ajaran, beliau melanjutkan perjalan menuju ke
timur dan sampailah beliau di Gunung Baleku tempat Pura Baleku berdiri kokoh
hingga saat ini. Gunung ini dulu bernama Balekuwu, Bale yang artinya “rumah”
dan Kuwu yang juga berarti “aku/saya” jadi Baleku berarti “rumah aku/rumah
saya”. Ditempat inilah putri Dang Hyang Dwijendra bernama Dewi Ayu Mas
dijunjung dan dipuja. Pura Baleku mendapatkan pengakuan dan sertifikat pada tahun 2009.
Pura melanting ini didirikan untuk mengenang putri perempuan Dang Hyang Dwijendra yang bernama
Dewi Ayu Mas. Gunung Baleku adalah tempat pertama kali Dang Hyang Dwijendra
menginjakkan kaki ditanah Lombok kurang lebih pada abad ke-13, wraspati (kamis)
pon wuku landep tahun 1301 saka. Di pulau Lombok Dang Hyang Dwijendra dijuluki
dengan sebutan Sangupati, kata Sangupati berasal dari urat kata Sang Utpeti
yang berarti “yang menciptakan Panca Tirtha” yang di Suranadi. Luas area pura Gunung Baleku sebenarnya hanya
kurang lebih 12 are, dan mendapatkan
punia berupa perluasan area kurang lebih
16 are.
Menurut Gusti Mangku Ngurah Suteja, pemangku pura yang sekaligus perawat
dan penjaga pura Gunung Baliku menyatakan bahwa konon di Gunung Baleku lah Dang
Hyang Dwijendra untuk pertama kalinya mengajarkan ajaran Islam Waktu Telu,
namun tidak ada yang mengekspos informasi ini demi suatu alasan tertentu yang menurut bapak Gusti Magku hal ini
dirahasiakan demi keharmonisan antara umat hindu dan islam di Lombok agar tidak
terjadi saling aku-mengakui yang bisa saja menyebabkan pertengkaran antar suku
sehingga masyarakat umum hanya mengetahui bahwa ajaran Waktu Telu diberikan di
Pura Lingsar yang lebih dikenal saat
ini.
Setelah dari pura Gunung Baleku,
Bhatara Sakti Wawu Rawuh melanjutkan perjalanan beliau menuju keselatan
sampai ke Labuan Lombok Khayangan (Lombok timur) beliau membuat pura di sana,
setelah itu beliau pulang kembali ke tanah Bali, selama kurun waktu 300 tahun beliau datang kembali namun
tujuan beliau bukan ke Lombok melainkan ke Sumbawa. Setelah selesai perjalanan
beliau di Sumbawa beliau kembali ke Bali hingga beliau moksa di tanah Bali,
beliau moksa di lokasi Pura Ulu Watu.
Pura Rambut Siwi, Pura Tengkulep, Puraju, Tanah Lot adalah beberapa tempat yang
sempat beliau kunjungi sebelum akhirnya beliau Amor Ring Acintya. Moksanya
beliau di saksikan oleh para Pendiga perahu-perahu dari laut di karenakan Pura
Ulu Watu berada di dekat pantai.
B.
PUJAWALI
PURA GUNUNG BALEKU
Pujawali pura gunung baleku jatuh
setiap purnamaning ke tiga (3) yang merupakan
keputusan parisadha, semestinya piodalan di pura gunung baleku jatuh
pada waraspati pon wuku landep. Sehari sebelum hari pujawali di pura Baleku mengadakan
penyucian, pengelukatan hingga pujawali tiba. Banten yang digunakan ialah
seperti banten pada umumnya tetapi dalam sarana bantennya tidak diperkenankan
memakai daging babi. Yang menanggulangi acara pujawali dari awal
persiapan,banten hingga pujawali itu sendiri adalah tiga banjar ( karya,rojong
,dan dharma yatra). Ketiga banjar inilah yang menjadi pengamong pura Baleku.
Pura Baleku tidak mempunyai pratima sebagai kekayaan dari pura itu sendiri.
Hal unik yang ada di pura Gunung
Baleku adalah batu peluk atau batu kapong atau batu tenung. Yang membuat batu
ini unik ialah konon dipercaya atau diyakini dapat mengabulkan permohonan jika
ada pemedeg atau masyarakat hindu yang memeluk batu tersebut jari tengah kiri
dan jari tengah kanan betemu atau masuk ke dalam lubang batu tersebut maka
permohonan atau doa-doa yang di minta akan terkabul. Sedangkan jika Tetapi ada
hal yang harus diperhatikan yaitu apabila jari tengah kiri dan jari tengah
kanan belum bertemu atau masuk ke dalam lubang batu tersebut maka permohonan
atau doa-doanya masih belum terkabul atau masih banyak rintangan untuk dapat
meraihnya.
Aturan yang dipakai di pura Baleku
sama seperti aturan-aturan yang di tetapkan oleh pura-pura lainnya, tetapi ada
aturan khusus yaitu tidak diperbolehkan bagi para masyarakat yang selesai
sembahyang (pemedeg) makan atau prasadam di dalam jabe utama, melainkan harus
prasadam di jabe tengah yang sudah disediakan bale pasandegan untuk masyarakat
menikmati prasadamnya. Untuk kepengurusan inti pura Baleku sekarang ini ialah
dari banjar Dharma Yatra yang diketuai oleh bapak Drs. I Made Dharma Putra.
C.
MASA
RENOVASI ATAU REHAP PURA GUNUNG BALEKU
Pura Gunung Baleku berdiri pada
tahun 1031 saka dan sudah mengalami tiga kali renovasi. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1970-an bangunan
yang diperbaiki adalah bangunan Gedong yang berisi bangunan menyerupai lingga
yang dikedua sisinya diapit naga dan didalam lingga itu terdapat banyak
bebatuan yang dibungkus dengan kain berwarna putih, konon batu-batu itu
digunakan sebagai tempat duduk Ratu Sakti (Dang Hyang Nirartha). Perbaikan
kedua dilaksanakan pada tahun 1983 dengan sedikit merubah Padmasana dan
bangunan Gedong yang semula dari ukuran kecil menjadi sedikit lebih besar
(sedang), perbaikan ketiga dilaksanakan pada tahun 2009 yang kedua kali dari sedikit sedang menjadi
besar (besar) hingga sekarang pelinggih-pelinggih agak lebih besar dari yang
sebelum-sebelumnya dan dilakukan penyesuaian dengan padmasananya karena di Pura
Gunung Baleku terdapat pelinggih baru yaitu padmasana dan melanting.
Dibangunnya pelinggih padmasana di
karenakan agar para kaum brahmana mau melakukan sembah bhakti di pura Gunung
Baleku, sebelum pelinggih padmasana
dibuat para kaum brahmana tidak mau
melakukan persembahyangan disembarangan
tempat karena mereka belum mengetahui sejarah pura yang akan mereka gunakan
untuk menyembah. Sehingga agar semua umat hindu lebih-lebih para kaum brahmana
agar mau melakukan persembahyangan di tempat tersebut maka didirikanlah
pelinggih padmasana yaitu pada tahun 1983 untuk pertama kalinya.
Adapun pelinggih-pelinggih yang
berdiri kokoh di area Pura Gunung Baleku yakni:
1. Padmasana
yang berada di bagian timur yang dilengkapi dengan ukiran Bedawang Nala sebagai
simbol bumi;
2. Pelinggih
melanting yang berada di bagian utara yang dibalut dengan kain kuning, bangunan
ini menyimbolkan dewi kesuburan, pelinggih ini sering disembah oleh para
pedagang.
3. Pelinggih
Gedong Sari berada di bagian timur, yang
dilengkapi dengan bebatuan yang diselimuti kain putih yang konon adalah tempat duduk Dang Hyang
Dwijendra atau Bhatara Sakti.
4. Pelinggih
Anglurah berada di bagian selatan, sebagai simbol wakil Ida Sang Hyang Widhi.
5. Bale
pewedean berada di bagian barat
6. Bale
pesanekan berada madya mandala yaitu di bagian selatan
7. Batu
Peluk atau Batu Kapong berada di tengah areal utama mandala, yang merupakan
salah satu peninggalan Bhatara Sakti, sedangkan 3 batu lain yang berada
diantara Batu Kapong ini hanya berfungsi sebagai pelengkap saja.
Berikut perbaikan bangunan pura yang
dilakukan oleh kepengurusan pura sacara bertahap, yakni :
1. Pada kepengurusan banjar
rojong perbaikan bangunan yang di perbaiki ialah bale pasandegan
2. Pada kepengurusan banjar
dharma yatra perbaikan bangunan yang di perbaiki ialah bale pawedaan dan bale
banten
3. Pada kepengurusan banjar
karya perbaikan bangunan yang di perbaiki ialah pelinggih Padmasana, pelinggih
Melanting, tembok, patung naga dan lain-lain.
4. Khusus untuk pelinggih
Anglurah, pemedeg dari bali membangun bangunan pelinggih ini mulai dari nol
dengan menyumbang dengan sukarela atau dana punia untuk pura.
Pekerjaan perbaikan ini dilakukan secara gotong-royong oleh semua anggota
pengurus maupun masyarakat sekitar. Pura gunung baleku mempunyai seorang
donatur tetap yang telah memberikan sumbangan pura dari dahulu sampai sekarang,
beliau bernama Dr. Gusti Ngurah Prayoga pemilik Rumah Sakit Risa yang kini
beliau sudah Almarhum(meninggal). 20% Dari kedonasian beliau dapat menggaji
pemangku pura sedangkan 80% untuk pura.
Jika diperhatikan dari dulu pura tidak mempunyai kamar mandi,
tetapi untuk saat ini lahan milik Dokter Prayoga menyumbangkan lahannya untuk
pembuatan kamar mandi. Untuk lahan area kros-krosan itu milik ahok dari
ampenan, sedangkan area tangga sampai utara pura adalah milik pura. Dahulu di
jabe utama terdapat sumur untuk para pemedeg mencari air untuk keperluan
persembahyangan, tahun berganti tahun pemedeg yang berdatangan yang semakin
banyak mengakibatkan sumur yang ada didalam pura mengering sehingga sumurnya
sekarang sudah tidak ada lagi digantikan oleh air PAM. Sempat terjadi kerusakan
pura oleh masyarakat yang tidak bertanggungjawab beberapa tahun yang lalu,
namun dengan kesabaran para umatnya pura gunung baleku diperbaiki kembali kokoh
bediri megah hingga saat ini.
D. DENAH PURA GUNUNG BALEKU
E. NARASUMBER
TTL : Rendang
Bajur, 31 Desember 1952
Alamat : Taman Sari, Gunung
Sari, Lombok Barat.
Pekerjaan :
Pemangku sekaligus penjaga Pura Gunung Baleku
No Hp : -
Nama : Drs.I Md Dharma Putra (Ketua Pengurus )
TTL : Karangasem 29
November 1960
Alamat : BTN Gunungsari Jl.Raya
Tanjung No. C,5
Pekerjaan : PNS (Guru)
No Hp :
085239513993
Nama : I Wayan Suwela (Sekertaris Pengurus)
TTL : Tanjung, 31 Desember
1959
Alamat : Rendang Bajur Gunungsari
Pekerjaan : PNS (Guru)
No Hp :
081916020068
Setelah memastikan pulau Bali merupakan titik sinar yang beliau lihat pada waktu bersemedi di Gunung Raung Jawa. Maka untuk memastikan suatu saat nanti di masa depan pulau Bali akan tetap menjadi pulau yang suci, maka Ida Maharsi Markandeya berusaha melindungi pulau Bali dengan cara memagari pulau Bali dengan sinar-sinar suci. Proses pemagaran pulau Bali ini terkait dengan penanaman panca datu di beberapa pulau yang mengelilingi pulau Bali. Tujuan dari penanaman panca datu di pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali ini adalah dengan tujuan jikalau suatu saat sinar kesucian pulau Bali mulai meredup akibat pola prilaku sekala-niskala dari penduduk Bali yang mulai tidak sesuai dengan kaidah Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana maka sinar-sinar suci dari pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali inilah yang akan memberikan sokongan energi supaya energi kesucian pulau Bali tetap terjaga. Singkat cerita, dalam tulisan ini penulis memfokuskan pada perjalanan Ida Maharsi Markandeya ke tanah Lombok dalam rangka menanam panca datu dan dalam rangka menandai titik-titik spiritual di tanah Lombok yang suatu saat akan menjadi sumber energi spiritual yang bukan hanya akan menjaga keseimbangan pulau Lombok dan sekitar akan tetapi juga akan menjadi cadangan energi spiritual untuk pulau Bali jikalau pulau Bali sudah mulai kotor. Jejak perjalanan Ida Maharsi Markandeya ditanah Lombok diawali lewat Nusa Penida. Setelah menandai titik-titik spiritual di Nusa Penida seperti Puncak Mundi, Puncak Tunjuk Pusuh, Puncak Tinggar, Dalem Ped, Giri Putri, Sekar Taji dll, Ida Maharsi Markandeya melanjutkan perjalanan beliau ke pulau Lombok. Di pulau Lombok ini beliau pertama kali beryoga semadi di puncak Gunung Sari (sekarang menjadi lokasi pura Gunung Sari, Lombok), disini Ida ditemani oleh putun Ida yang bernama Ratu Ayu Manik Tirta Mas. Kemudian setelah itu beliau beryoga semadi di puncak Baliku (sekarang menjadi lokasi pura Puncak Baliku), disini Ida ditemani oleh istri beliau yang bernama Ida Ratu Niang Sarining Suci. Setelah itu beliau lanjut menandai titik Gunung Pengsong. Di Gunung Pengsong beliau bertemu dengan seorang wanita cina yang jaman sekarang dikenal dengan Ida Ratu Niang Gunung Pengsong atau ditanah Bali dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Di Gunung Pengsong ini Ida Hyang Maharsi Markandeya melakukan kawin kesaktian dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Jadi selama bertapa di Gunung Pengsong ini Ida Maharsi Markandeya ditemani oleh Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Tempat pertapaan beliau ini yang pada jaman sekarang ini menjadi cikal bakal Pura Puncak Gunung Pengsong. Taksu hasil kawin kesaktian dari Ida Maharsi Markandeya dan Ida Hyang Dewi Anjani di Gunung Pengsong ini merupakan taksu kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Setelah menyelasaikan proses pembangkitan sinar suci di Gunung Pengsong kemudian Ida Maharsi Markandeya ditemani dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani melanjutkan perjalanan ke Puncak Gunung Rinjani. Di Puncak Gunung Rinjani ini Ida Maharsi Markandeya mengumpulkan energi dari semua titik sinar suci di pulau Lombok yang suatu saat jika diperlukan akan dikirim ke pulau Bali untuk menjaga kesucian pulau Bali. Di puncak Gunung Rinjani ini Ida Hyang Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar kesucian yang beliau dapat di pulau Lombok. Akibat dari hasil penunggalan semua sinar suci pulau Lombok ini maka di Puncak Gunung Rinjani, Ida Betara Lingsir Maharsi Markandeya dikenal dengan Ida Hyang Lingsir Maharsi SUKMA JATI.
BalasHapusSetelah Ida Maharsi Markandeya merasa cukup membangkitkan titik kesucian pulau Lombok, kemudian beliau berencana melanjutkan perjalanan meninggalkan pulau Lombok menuju Gunung Tambora. Untuk tetap menjaga kesucian pulau Lombok khususnya setelah ditinggalkan oleh beliau maka Tongkat Komando Penguasa pulau Lombok diserahkan kepada Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Karena tugas yang maha berat ini kemudian Ida Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar suci yang telah dikumpulkan selama masa pertapaan Ida dan Hyang Dewi Anjani dari pertapaan di Gunung Pengsong sampai puncak Gunung Rinjani. Hasil penunggalan/pemurtian sinar suci ini kemudian menyebabkan Ida Hyang Betari Dewi Anjani bergelar IDA HYANG BETARI AMBUN JAGAT. Gelar ini mencerminkan bahwa Ida Hyang Betari Dewi Anjani adalah pengayom dan pelindung jagat Lombok dan sekitarnya. Sehingga sampai saat ini yang diyakini berstana dan merupakan betara lingsir puncak Gunung Rinjani Lombok adalah Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Sepeninggal Ida Maharsi Markandeya, suatu saat ratusan tahun kemudian atas petunjuk spiritual yang diberikan oleh Ida Maharsi Markandeya, datanglah murid spiritual beliau yaitu Ida Hyang Mpu Siddhimantra bertapa di puncak Gunung Rinjani untuk melanjutkan tugas Ida Maharsi Markandeya. Jadi di atas puncak Gunung Rinjani secara garis besar terdapat tiga Ida Betara Lingsir yang menjadi pengayom dan penjaga kesucian Gunung Rinjani yaitu : Ida Hyang Lingsir Maharsi Sukma Jati yang merupakan penunggalan dari Ida Maharsi Markandeya, Ida Hyang Betari Lingsir Ambun Jagat yang merupakan penunggalan dari Ida Hyang Betari Dewi Anjani dan Ida Hyang Mpu Siddhimantra sebagai pelaksana teknis dari Gunung Rinjani. Setelah menyelesaikan penandaan dan pembangkitan sinar-sinar suci di pulau Lombok kemudian Ida Hyang Maharsi Markandeya berdasarkan petunjuk yang didapat di puncak Gunung Rinjani kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Tambora. Berdasarkan petunjuk yang didapat dari puncak Gunung Rinjani, meskipun Gunung Tambora tidak berbatasan langsung dengan pulau Bali, akan tetapi jika tidak ditandai dan dibangkitkan sinar sucinya maka Gunung tersebut suatu saat akan bisa menghancurkan pulau Bali, ini terbukti dengan terjadinya letusan paling dasyat di muka bumi ini yaitu pada tahun 1881 dimana efeknya ikut meluluhlantakan kehidupan di Bali. Singkat cerita Ida Maharsi Markandeya sampai ke puncak Gunung Tambora, disini beliau bertemu dengan seorang wanita yang nantinya akan menjadi istri beliau di puncak Gunung Tambora beliau bernama Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan. Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan sepeninggal Ida Maharsi Markandeya dari puncak Gunung Tambora, kelak kemudian hari juga dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Bhujangga Suci. Atas tugas dari alam semesta untuk melindungi Gunung Tambora, sehingga ditempat ini Ida Maharsi Markandeya menanam pancer berupa manik-manik yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan Gunung Tambora. Atas tugas inilah alam semesta memberi gelar Ida Betara Lingsir Pancer Manik Tunggul kepada Ida Maharsi Markandeya sebagai Betara Lingsir Puncak Gunung Tambora. Sama seperti Ida Hyang Mpu Siddimantra yang dipanggil oleh Guru Niskala Ida yaitu Ida Hyang Maharsi Markandeya untuk melanjutkan menjaga kesucian puncak-puncak di tanah Lombok maka sama seperti halnya Ida Hyang Maharsi Madura. Ida Maharsi Madura dipanggil ratusan tahun berikutnya ke tanah Lombok untuk melanjutkan tugas Maharsi Markandeya untuk menjaga kesucian pulau Lombok. Akan tetapi, Ida Maharsi Madura dalam kapasitas sebagai Ida Rsi Dalem Segara, hanya ditugaskan untuk menjaga kesucian laut Lombok. Titik yang dipilih oleh Ida Rsi Madura dalam mendoakan dan menjaga kesucian laut-laut di pulau Lombok, pada jaman sekarang ini dikenal dengan PURA BATU BOLONG.
BalasHapusSetelah jaman Ida Maharsi Markandeya, Ida Mpu Siddimantra dan Ida Maharsi Madura barulah ratusan tahun berikutnya datang Ida Peranda Sakti Wawu Rauh atau yang nantinya di Lombok dikenal dengan Tuan Semeru. Ida Peranda Sakti tidak dapat napak puncak-puncak di Lombok, akan tetapi beliau napak di puncak Gunung Tambora. Disinilah beliau mendapat julukan Tuan Semeru. Mudah-mudahan dengan cerita di atas dapat membuka wawasan berpikir saudara-saudara di Bali akan jejak perjalanan para pendeta ditanah Lombok beserta dengan titik-titik napak tilasnya
BalasHapusSetelah jaman Ida Maharsi Markandeya, Ida Mpu Siddimantra dan Ida Maharsi Madura barulah ratusan tahun berikutnya datang Ida Peranda Sakti Wawu Rauh atau yang nantinya di Lombok dikenal dengan Tuan Semeru. Ida Peranda Sakti tidak dapat napak puncak-puncak di Lombok, akan tetapi beliau napak di puncak Gunung Tambora. Disinilah beliau mendapat julukan Tuan Semeru. Mudah-mudahan dengan cerita di atas dapat membuka wawasan berpikir saudara-saudara di Bali akan jejak perjalanan para pendeta ditanah Lombok beserta dengan titik-titik napak tilasnya
BalasHapus